ilustrasi medcom.id |
Dilansir dari Metrotv.com - Sivitas akademika Universitas Islam Indonesia (UII) menilai demokrasi dan etika berbangsa dan bernegara di Indonesia saat ini telah mati. Demokrasi talah dibunuh secara berencana oleh para elite.
Pengajar Fakultas Hukum UII Sri Hastuti Puspitasari dalam orasinya menyebutkan pembunuhan demokrasi di Indonesia, selain terencana, juga terstruktur, sistematis dan masif. Menurut dia, rencana pembunuhan itu pertama dilakukan melalui organ negara yang disebut Mahkamah Konstitusi.
"Melalui putusan yang sangat buruk, yakni Putusan nomor 90/PUU-XXI/2023, Pak Jokowi telah memuluskan jalan untuk menaikkan putra mahkota, Gibran Rakabuming Raka melenggang menjadi calon wakil presiden," katanya.
Pembunuhan itu karena telah berhasil mengubah syarat calon presiden dan calon wakil presiden. Pembunuhan terencana kedua adalah peran Jokowi sendiri sebagai Presiden yang secara aktif melakukan cawe-cawe dalam sistem demokrasi sehingga memuluskan jalan dan memutilasi demokrasi.
"Meski derajat sebagai Presiden kemudian jatuh terjerembab di tempat paling rendah," katanya.
Langkah berikutnya adalah melibatkan pejabat dan elite serta para menteri yang ikut membunuh demokrasi yang mendukung dan mengusung paslon yang cacat etika dan lahir dnegan memutilasi demokrasi. Bahkan juga memutilasi Indonesia sebagai negara hukum.
Menurut dia, rencana pembunuhan lainnya adalah dengan cara menaikkan gaji ASN, TNI dan Polri. Menurut dia, kenaikan gaji itu sama sekali tidak bertujuan untuk kesejahteraan namun sebagai permintaan untuk memuluskan rencananya. Ia mengungkapkan seharusnya ada kecurigaan, mengapa gaji dinaikkan menjelang Pemilu dan kemudian disusul pemberian Bantuan Sosial (Bansos)yang jumlahnya sangat besar dan pemberiannya terkonsentrasi pada waktu menjelang Pemilu saja.
Sementara Rektor UII, Prof Fathul Wahid mengungkapkan tanda-tanda kematian demokrasi sebenarnya sudah terasa. Namun, karena sangking halusnya tanda-tanda kematian itu, membuat banyak orang tidak merasakan.
"Penciptaan segregasi sosial sejak 2014 hingga sekarang dengan label kadrun vs kampret, terbukti menjadi sarana ampuh untuk melumpuhkan sarana demokrasi," kata Rektor.
Langkah selanjutnya adalah pengebirian KPK melalui perubahan perundang-undangan, aktivis masyarakat sipil sebagian ditundukkan dengan dibayar untuk menjadi loyalis dan lainnya dan disusul dengan berbagai tindakan kasar.
Puncak tindakan kasar dan brutal itu, katanya, dengan mengintervensi Mahkamah Konstitusi untuk meloloskan putra Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden. "Ini adalah serengan terhadap indendensi sekaligus pengkhianatan terhadap amanat reformasi," katanya.
Ia mengingatkan, reformasi ternyata mati di tangan Jokowi. Dikatakan, jika saat ini banyak yang menyebutkan Pemilu 2024 merupakan yang terburuk sepanjang sejarah Indonesi. Melihat kondisi-kondisi itu Rektor mengajak agar semua penyelenggara negara untuk kembali menjunjung tinggi etika berbangsa dan bernegara, menghormati hak dan kebebasan warga negara dan mengembalikan prinsip independensi peradilan.
UII, katanya juga mengajak seluruh partai politik yang kalah dalam Pemilihan Presiden 2024 ini untuk menjadi oposisi penyeimbang yang berpegang teguh pada etika berbangsa dan bernegara serta menjunjung tinggi konstitusi. UII, imbuhnya juga mendorong partai politik menggunakan hak angket dan mencari langkah politik dan hukum yang lain sebagai penghukuman terhadap Presiden Jokowi yang terbukti mengkhianati Refomasi 1998.
"Kami mengajak masyarakat untuk sadar dengan memboikot partai politik yang telah menjelma menjadi penghamba kekuasaan dan uang serta terang-terangan mengkhianati tugas utamanya sebagai pelaksana kedaulatan rakyat," ujarnya.
Dalam akhir pernyataan sikapnya, Rektor menegaskan, UII menyerukan kepada aktivis masyarakat sipil untuk melakukan pembangkangan sipil dan menolak menjadi bagian dari kekuasaan yang direbut dengan cara penuh muslihat, tuna etika dan culas.
"Secara khusus kami menyeru kepada tokoh kritis nasional untuk bersatu membuat oposisi permanen melawan rezim politik dinasti yang telah menjadi predator dan pemembunuhg demokrasi Indonesia," katanya. (red).
0 Komentar