Swaralamadjang.my.id - Harga gabah petani diprediksi akan naik seiring melambungnya harga beras. Kenaikan harga gabah salah satunya disebabkan oleh kenaikan biaya produksi gabah dari petani sendiri, mulai dari ongkos tenaga kerja, sewa lahan, pupuk, benih hingga komponen lain yang taraf harganyanya memang sudah naik lebih dulu.
Direktur Utama Perum Bulog Bayu Krisnamurthi menjelaskan jika biaya produksi gabah petani per kilogram pada tahun lalu mencapai Rp4.700 atau cenderung dibulatkan menjadi Rp5.000, maka tahun ini, biaya itu kemungkinan sudah naik.
"Faktor yang membentuk harga gabah itu yang paling besar adalah dari ongkos tenaga kerja yang kira-kira hampir 50 persen dari harga pokok produksi gabah. Karena kalau kita lihat dari semua faktor-faktor itu, sekarang sudah naik," jelas Bayu
Perkiraan biaya produksi petani untuk menghasilkan satu kg gabah sudah berubah dibandingkan dengan satu tahun lalu. Kalau itu terjadi maka, harga gabah diperkirakan tidak akan turun sampai ke Rp5.000 lagi, masih katanya.
Oleh karenanya, ia enggan merinci berapa kisaran kenaikan harga gabah. Sedangkan untuk harga beras nantinya, perhitungan kenaikannya ada di pihak otoritas yang menentukan termasuk Badan Pangan Nasional (Bapanas) atau BPS.
Sementara pengamat pangan di Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Khudori, sependapat dengan Bayu, bahwa harga beras akan sulit untuk turun dalam beberapa waktu ke depan karena berbagai pertimbangan.
"Harga gabah yang tinggi itu cerminan dari ongkos produksi yang naik itu. Karena sepertinya memang akan ada keseimbangan baru yang menyesuaikan antara kenaikan ongkos produksi dengan harga di hilir," ungkap Khudori.
Lebih jauh Khudori menyarankan pemerintah untuk melanjutkan berbagai kebijakan yang sudah ada, seperti bantuan pangan beras kepada 22 juta keluarga penerima manfaat dengan masing-masing 10 kilogram yang menurut rencana akan diberikan sampai dengan Juni, melakukan operasi pasar, serta menggelar pasar pangan murah.
Khudori meminta semua pihak untuk juga melihat masalah kenaikan harga beras ini dari sisi petani. Pasalnya, dua komponen biaya produksi yakni ongkos tenaga kerja dan sewa lahan, memakan porsi 75 persen dari komponen biaya produksi gabah para petani ini.
Menurutnya, biaya produksi petani yang cenderung fluktuatif sepanjang waktu tidak sebanding dengan harga eceran tertinggi (HET) beras yang kerap ditetapkan oleh pemerintah meskipun dalam praktiknya di lapangan, HET ini tidak selalu dipatuhi oleh pelaku usaha.
“HET ditetapkan oleh pemerintah, ibaratnya dikunci. Sementara input produksi di hulu tidak ada yang dikunci seperti sewa lahan, ongkos tenaga kerja, harga BBM yang semuanya sangat fluktuatif. Tidak adil ketika input produksi itu harganya fluktuatif, bahkan cenderung naik terus. Sementara di hilir (HET) outputnya itu dikunci harganya, gak boleh naik di atas HET,” pungkasnya. (red)
0 Komentar